Berbagi Berita dan Cerita Dari Sumber Terpercaya

Thursday, 23 November 2017

Gender dalam Kontek Hukum Islam



Berkembangnya diskursus hak asasi manusia, khususnya hak asasi perempuan, dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran akan fakta-fakta kekerasan dan diskrimi-nasi yang dialami perempuan. Kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk kejahatan yang cukup tua. Kejahatan jenis ini, sebelumnya merupakan kejahatan yang tidak pernah diakui sebagai sebuah kejahatan dan tidak pernah diadili. Berbeda dengan catatan sejarah kejahatan yang menimpa umat manusia pada umumnya, kejahatan terhadap perempuan menjadi semakin sulit tertangani oleh karena dominasi pandangan/ perspektif patriarkat yang melekat dan membatu pada pikiran manusia. Berangkat dari perspektif patriarkat inilah budaya patriarkat terbentuk dan menyatu dalam kebudayaan umat manusia. Dari sini, ketidakadilan gender menimpa perempuan.
Terminologi kesetaraan gender dibangun di atas dasar kesadaran pengakuan akan adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Karena ketidaksetaraan itu maka segenap ikhtiar untuk membangun kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan muncul. Pengakuan adanya ketidakadilan gender adalah modal awal bagi upaya membangun kesataraan gender. Tanpa pengakuan, ketidakadilan gender akan tetap menjadi titik awal terjadinya berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Perempuan, secara biologis memiliki perbedaan dengan laki-laki. Perbedaan biologis itu bukanlah menjadi pembenar bagi pemeranan perempuan secara tidak adil, tapi justru menuntut setiap orang, institusi sosial, dan negara untuk memberikan perlindungan khusus kepada perempuan. Fakta perbedaan bilogis ini yang kemudian menjadi argumen perlunya perlindungan khusus bagi perempuan. Namun demikian, yang terjadi di sekitar kita, perbedaan biologis ini justru menjadi justifikasi praktik ketidakadilan gender: subordinasi, marginalisasi, beban ganda (double burden), kekerasan, dan stereotipe.
Selain perbedaan yang bilogis [sex, kodrati], akibat ketidakadilan gender, perempuan juga mengalami pembedaan (diskriminasi). Diskriminasi inilah yang kemudian menginspirasi gerakan-gerakan perempuan untuk mewujudkan keadilan gender, menghapus diskriminasi, dan kekerasan. Setelah Deklarasi Universal HAM, Kovenan Sipil Politik, dan Kovenan Ekonomi Sosial Budaya,  salah satu tonggak perjuangan menuju kesetaraan gender adalah lahirnya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) di tahun 1979 yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia dengan UU No. 7/1984. Karena ketidakadilan gender yang menimpa perempuan, konvensi ini juga menegaskan bahwa untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, diperlukan tindakan khusus sementara (affirmative action) untuk mencapai kesetaraan gender, sehingga perempuan dan laki-laki memiliki akses dan kesempatan yang sama untuk menikmati hak-hak asasinya. Selain CEDAW, saat ini sejumlah deklarasi yang berhubungan dengan perjuangan mewujudkan kesetaraan gender juga telah tersedia.
Sejalan dengan perjuangan penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang terjadi pada 2000-2004 telah mengubah secara mendasar prinsip-prinsip distribusi kekuasaan, praktik penyelenggaraan negara, dan penegasan komprehensif jaminan hak-hak konstitusional warga negara. Secara normatif, amandemen UUD 1945 telah memberikan jaminan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak asasi perempuan. Hak-hak konstitusional warga telah sepenuhnya mendapat jaminan dan perlu direalisasikan melalui peraturan-perundang-undangan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Jaminan konstitusional tersebut menuntut segenap elemen negara, lembaga-lembaga negara, dan masyarakat sipil untuk memberikan perhatian yang kontinyu terhadap pemenuhan hak-hak konstitusional tersebut terutama bagi warga negara yang rentan diskriminasi.
Bias Gender dalam Tafsir Agama
Meskipun telah terjadi berbagai kemajuan menyangkut hak-hak perempuan, akan tetapi sejauh yang dapat dilihat dalam tradisi pemikiran Islam dan perundang-undangan yang berlaku di banyak negara muslim, termasuk Indonesia, perempuan masih menghadapi berbagai kendala serius untuk menikmati hak-hak asasinya. Perempuan masih mengalami problem diskriminasi gender. Problem diskriminasi berdasarkan gender muncul baik dalam pandangan dominan kaum muslimin maupun dalam hukum-hukum keluarga dan perdata Islam.
Pertama, perempuan diposisikan sebagai makhluk subordinat dengan tugas-tugas domestik. Al Qur’an secara eksplisit menyebutkan posisi perempuan ini : “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagai yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk perempuan”.(Q.S. al Nisa, 4:34). Superioritas laki-laki atas perempuan ini juga dinyatakan pada ayat yang lain: “Kaum perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya. Akan tetapi kaum laki-laki (suami) mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada kaum perempuan (isterinya)”.(Q.S. al Baqqarah, 2:228).
Mengacu pada teks-teks keagamaan di atas, para ahli hukum Islam berpendapat bahwa laki-lakilah yang menjadi kepala keluarga. Undang-undang perkawinan Indonesia, No. 1/1974 misalnya dengan tegas menyatakan : “laki-laki adalah kepala rumah tangga dan perempuan adalah ibu rumah tangga”.(ps. 31). Walaupun dalam realitasnya telah banyak perempuan yang menjadi kepala keluarga, tetapi berdasarkan norma-norma hukum yang berlaku tersebut tetap tidak diakui.
Kedua, meskipun konteks ayat 34 surah al Nisa tersebut berkaitan dengan urusan domestik, tetapi sejumlah pandangan ahli tafsir  ayat ini juga dirujuk melalui argumen analogis utama (qiyas awlawi) untuk menjustifikasi seluruh peran-peran perempuan di dalam wilayah publik-politik. Pemikiran ini juga dikuatkan oleh sumber otoritatif lain yaitu hadits sahih (valid) yang secara eksplisit menegaskan ketidakberuntungan bangsa yang dipimpin presiden perempuan : “lan yufliha qawmun wallau amrahum imra-atan” (negara tidak akan maju apabila menyerahkan urusannya kepada perempuan). Argumen paling banyak dikemukakan adalah karena kapasitas intelektual dan fisik perempuan lemah. Argumen lain adalah bahwa kehadirannya di hadapan dan bersama laki-laki dapat menimbulkan “fitnah” atau berpotensi menggoda. Argumen keagamaan yang sama digunakan mayoritas besar ulama untuk menolak peran perempuan dalam wilayah legislatif dan yudikatif.
Ketiga, hak cerai ada di tangan laki-laki (suami). Dalam khazanah hukum Islam suami dibenarkan menceraikan isterinya kapan saja dia mau. Sementara perempuan (isteri) hanya bisa bercerai dari suaminya melalui pengajuan gugatan atau yang biasa disebut “khulu'” (gugat cerai). Hal ini juga didasarkan atas teks-teks al Qur’an. Antara lain : “Perceraian (yang boleh rujuk) itu adalah dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang patut, atau menceraikannya dengan cara yang patut pula”.(Q.S. al Baqarah, 2:229). Teks-teks al Qur’an yang berhubungan dengan perceraian semuanya ditujukan kepada laki-laki. Norma hukum yang diskriminatif seperti ini juga memiliki implikasi yang bisa sangat merugikan bagi kaum perempuan.
Keempat, poligami dibenarkan berdasarkan ayat-ayat al Qur’an surah al Nisa, 4:3,  dan prakik Nabi. Undang-undang Keluarga di negara-negara Islam, kecuali Turki dan Tunisia, mengikuti ketentuan eksplisit sumber-sumber Islam tersebut. Walaupun demikian telah banyak negara Islam yang melakukan perubahan penting atas ketentuan Poligami tersebut. UU Perkawinan 1/1974, misalnya, membolehkan poligami dengan sejumlah syarat yang ketat. Demikian juga dalam Kompilasi Hukum Islam yang menjadi pegangan para hakim.
Kelima, hukum waris. Bagian waris untuk perempuan adalah separoh dari laki-laki.  Ketentuan pembagian harta waris yang dianggap diskriminatif ini merujuk pada ayat-ayat suci al Qur’an. Ayat al Qur’an tersebut berbunyi : “Aku wasiat (pesan) kepadamu tentang anak-anakmu. Bagi laki-laki sebanding dua kali bagian perempuan”. (Q.S. Al Nisa, 4:11).
Berdasarkan pembacaan literal atas teks-teks keagamaan tentang waris tersebut, para ulama memandang bahwa pembagian waris 2 : 1 untuk anak laki-laki dan anak perempuan merupakan konsensus (ijma’) ulama Islam. Mereka selanjutnya menyatakan bahwa pola pembagian waris laki-laki dua kali perempuan adalah sebuah prinsip umum yang harus diterapkan dalam memutuskan pembagian waris laki-laki dan perempuan. Undang-Undang Perkawinan Indonesia juga masih mengadopsi ketentuan teks-teks Islam tersebut secara literal.
Masih banyak hak-hak perempuan dalam hukum Islam yang juga mengandung aspek diskriminatif. Dapat dikatakan bahwa hampir semua pasal dalam UU Perkawinan No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dijadikan acuan praktis bagi pengadilan Agama, mengandung pasal-pasal yang diskriminatif berdasarkan gender. Dalam beberapa peraturan daerah yang sering disebut bernuansa syariah, secara jelas ditemukan juga aturan-aturan yang diskriminatif, baik yang melakukan kriminalisasi terhadap perempuan maupun yang mengontrol tubuh perempuan.
Pandangan keagamaan “mainstream” sebagaimana dipaparkan di atas, adalah problem dasar membincang isu kesetaraan gender dalam konteks hukum Islam. Meskipun pandangan-pandangan keagamaan itu merupakan fiqh (pemahaman para ulama atas sebuah teks) tapi dalam praktiknya fiqh telah menjadi sumber bagi pembentukan hukum Islam (fiqh atau syariah yang dipositivisasi ke dalam hukum negara). Baik fiqh maupun hukum Islam, keduanya adalah produk pemikiran manusia yang sangat mungkin mengalami pembiasan, sehingga muatannya kontradiktif dan bahkan kemudian menjadi diskriminatif.
Tantangan Berlapis
Membincang kesetaraan gender dalam konteks hukum Islam, mengacu pada pemaparan di atas menunjukkan tantangan berlapis: baik tantangan budaya seperti perspektif yang mengukuhkan ketidakadilan gender maupun justifikasi tafsir agama dalam ajaran Islam. Demikian juga sejumlah fakta hukum positif Indonesia yang masih banyak mengidap ketidakadilan gender.
Di bidang hukum, selain di bidang hukum keluarga, ketidakadilan gender juga tampak jelas dalam hukum pidana Indonesia. Sebagai contoh, KUHP masih mendefinisikan perkosaan secara sempit dan dalam konteks persetubuhan sebagai semata-mata tindakan penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan. Aturan yang tidak memadai ini pun masih menuntut pembuktian yang secara teknis sulit dipenuhi dan mempersulit perempuan korban perkosaan memperoleh keadilan. Dalam kerangka otonomi daerah, Aceh yang sebelumnya mengadopsi bentuk kriminal baru berupa khalwath (mesum), saat ini juga sedang menyiapkan rancangan qanun tentang jinayat (hukum materil pidana Islam) yang mencakup pengaturan tentang perkosaan, zina dan ikhtilath yang juga menjadikan hukuman cambuk sebagai bentuk penghukuman bagi pelaku.
Sementara sejumlah hukum keluarga dan hukum pidana baru sebagaimana di Aceh, yang secara diskriminatif menempatkan perempuan sebagai pemicu kriminal, sejumlah daerah telah mengadopsi peraturan-peraturan daerah tentang larangan pelacuran. Perda-perda jenis ini dibangun di atas pemahaman yang keliru tentang pelacuran. Para perancang peraturan telah secara diskriminatif mengkriminalisasi perempuan, karena itu harus dijerat. Sementara itu, di tingkat nasional RUU Pornografi telah secara kontroversial disahkan menjadi UU dan akan segera berlaku. UU Pornografi, sepanjang pengamatan penulis, telah menginspirasi pemda-pemda untuk melakukan pengaturan serupa perihal pornografi. Pemkot Banjarmasin telah secara terbuka menyatakan kesiapannya membentuk perda sejenis UU Pornografi ini.
Lapisan tantangan dalam hal perspektif yang tidak adil gender, tafsir ajaran yang bias, dan hukum positif yang tidak berpihak pada perempuan saat ini jelas menghadang aktualisasi gagasan keadilan gender sebagaimana tertuang dalam CEDAW. Meskipun sejumlah UU, seperti UU PKDRT, UU PTTPO, dan sejumlah Perda perlindungan buruh migran (perempuan) telah diterbitkan, kuatnya dominasi perspektif patriarkat, justifikasi tafsir agama yang bias, dan preseden-preseden hukum yang tidak adil gender menjadikan gerakan kesetaraan gender terus menghadapi tantangan berlapis.
Jalan Menuju Kesetaraan
Tiga lapis tantangan yang dihadapi oleh gerakan menuju kesetaraan gender sebagaimana dipaparkan di atas, menuntut penyikapan sistematis dengan menjawab tantangan-tantangan itu dengan cara:
[1] mengubah perspektif: perspektif yang tidak adil gender adalah titik awal sebuah tindakan yang tidak adil gender. Untuk mengubahnya, diperlukan gerakan sosial yang sistematis dan berkesinambungan. Faqihudin Abdul Qadir (2008) menegaskan, gerakan keadilan gender adalah segala upaya, sekecil apapun yang memberikan perhatian terhadap problem yang dihadapi perempuan, akibat ketimpangan relasi sosial yang terjadi, dengan tujuan menghadirkan sistem relasi yang adil bagi perempuan dan laki-laki. Gerakan keadilan gender adalah gerakan transformasi untuk keadilan sosial. Bukan hanya untuk keadilan perempuan, tetapi untuk semua komponen masyarakat. Tatanan sosial sudah harus memastikan agar tidak ada lagi anggota masyarakat, terutama yang lemah, minoritas dan perempuan, yang dihalangi untuk memperoleh keadilan dan kesejahteraan.
Sebagaimana juga ditegaskan KH Husein Muhammad (2007), kita perlu membangun kembali makna keadilan berdasarkan konteks sosial baru dan dengan paradigma keadilan substantif dan nyata. Pemaknaan keadilan bagi perempan dalam konteks ini, harus didasarkan pada pengalaman-pengalaman perempuan sebagai korban ketimpangan relasi gender. Karena pemenuhan keadilan secara mendasar harus dengan menunjukkan pemihakannya kepada korban.
[2] menafsir ajaran agama secara adil: tafsir ajaran agama yang bias gender harus diubah dengan tafsir yang adil gender. Harus diakui, sebagaimana dipaparkan pada bagian sebelumnya, praktik ketidakadilan gender juga telah diperkokoh oleh pandangan-pandangan keagamaan yang tidak berpihak pada perempuan. Dalam khazanah klasik Islam, sesungguhnya terdapat sejumlah konsep-konsep dasar yang bisa menjadi basis tafsir baru ajaran Islam: kebebasan (al Hurriyyah), dan kesetaraan (al Musawah). Dari dua prinsip dasar ini kemudian lahir sejumlah prinsip hak asasi manusia yang lain, misalnya hak atas kehormatan pribadi, hak atas perlindungan, prinsip partisipasi dan lain-lain. Demikian juga sejumlah ayat-ayat al Quran yang menjelaskan tentang eksistensi manusia, kebebasan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap manusia: Q.S. al Isra, 70, Q.S. al Baqarah, 2:30-31, Q.S. al Ahzab, 33:72, Q.S. al Nisa, 1, Q.S. al Hujurat, 13, Q.S. al Nahl, 16:97) dll.
Mengutip KH. Husein Muhammad (2008), doktrin kesetaraan (al musawah) di atas juga pernah dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam suatu kesempatan beliau mengatakan : “Manusia bagaikan gigi-gigi sisir, tidak ada keunggulan orang Arab atas non Arab, orang kulit putih atas kulit hitam, kecuali atas dasar ketakwaan kepada Tuhan”. Sabda beliau yang lain : “Sungguh, Allah tidak menilai kamu pada tubuh dan wajahmu melainkan pada tindakan dan hatimu”. Dan  “Kaum perempuan adalah saudara kandung kaum laki-laki”. Prinsip kesetaraan manusia ini pada hakikatnya merupakan konsekuensi paling rasional atas doktrin Kemahaesaan Allah, atau dalam bahasa yang lebih populer: Tauhid. Menurut doktrin ini, semua manusia, tanpa melihat asal-usulnya pada ujungnya berasal dari sumber yang tunggal ciptaan Tuhan. Oleh karena itu tidak satupun ciptaan Tuhan yang memiliki keunggulan atas yang lainnya. Keunggulan manusia satu atas manusia yang lain hanyalah pada aspek kedekatan dan ketaatannya kepada hukum-hukum Tuhan.
Sejumlah prinsip dasar dalam teks-teks keagamaan, khususnya al Quran dan al Hadis, selanjutnya menjadi dasar bagi Nabi Muhammad SAW untuk mendeklarasikan apa yang kemudian dikenal dengan “Shahifah Madinah atau, “Mitsaq al Madinah” atau Piagam Madinah, pada tahun 622 M. yang isinya meliputi kesepakatan-kesepakatan tentang aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat Madinah yang  plural dalam banyak aspek, terutama aspek keyakinan dan agama.
Tokoh besar Islam, Imam al Ghazali, (w. 1111 M) juga telah mengembangkan prinsip-prinsip kemanusiaan Islam tersebut dan merumuskannya menjadi lima prinsip, atau yang biasa dikenal dengan istilah “al Ushul al Khamsah”. Yaitu Hifzh al Din (perlindungan terhadap agama), Hifzh al Nafs (perlindungan terhadap hak hidup), Hifz al ‘Aql (perlindungan terhadap akal-intelektual), Hifzh al Nasl (perlindungan terhadap keturunan dan kerhormatan), dan Hifzh al Mal (perlindungan terhadap hak milik). Imam al Ghazali menegaskan bahwa lima hal ini adalah tujuan-tujuan agama (Maqashid al Syari’ah).
Dalam konteks modern, prinsip-prinsip kemanusiaan di atas kemudian diturunkan dalam rumusan  Deklarasi Hak Asasi Islam yang dikeluarkan di Kairo pada tahun 1990. Deklarasi yang kemudian populer disebut Deklarasi Kairo ini merupakan dokumen hak asasi manusia di tingkat regional yang secara khusus ditujukan untuk negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam atau OKI. Dengan statusnya yang demikian deklarasi ini bukan merupakan pengganti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia melainkan dapat melengkapinya.
Menafsir ajaran-ajaran keagamaan secara adil harus dimulai dengan mengkritisi pandangan-pandangan fiqh yang relatif dan sangat sosiologis [bahkan politis] menggunakan landasan prinsip-prinsip dasar universal Islam sebagaimana dipaparkan di atas. Dengan menggunakan landasan prinsip-prinsip di atas, diskursus kesetaraan gender dalam konteks hukum Islam justru akan sangat saling menguatkan, karena pada dasarnya ajaran keagamaan (Islam) adalah adil dan setara dalam memandang laki-laki dan perempuan. Sebaliknya, tanpa pembaruan tafsir yang adil, hukum Islam/ produk hukum yang dilandasi tafsir ajaran Islam justru hanya akan melahirkan kontradiksi yang sangat mungkin saling menegasikan. Kontestasi pendapat publik dalam memandang munculnya peraturan perundang-undangan baik di tingkat lokal maupun di nasional menunjukkan peta kontradiktif itu.
[3] memperbarui produk hukum: jaminan konstitusional hak-hak perempuan yang termuat dalam UUD 1945 sesungguhnya menuntut penyikapan elemen negara untuk menerjemahkannya ke dalam produk-produk hukum dan kebijakan. Prinsip “kewajiban negara” yang diamanatkan oleh CEDAW cukup menjadi landasan bagi elemen negara memastikan jalan lapang menuju kesetaraan gender. Sejumlah produk hukum seperti UU PKDRT, UU PTTPO, jaminan quota 30% bagi perempuan dalam pencalegan, belumlah cukup menjadi landasan operasional yang mampu menerjemahkan jaminan konstitusional hak-hak perempuan dalam konstitusi.
Di samping tantangan memperbarui KUHP untuk memastikan justisiabilitas bagi korban perkosaan, perempuan Indonesia saat ini juga masih membutuhkan sejumlah perlindungan khusus. Pelecehan seksual, kekerasan seksual, perempuan pembantu rumah tangga, perempuan pekerja migran, dan sejumlah isu kesetaraan lain di berbagai bidang: tenaga kerja, jaminan akses keadilan, hak atas pemberdayaan dan lain sebagainya adalah kebutuhan perempuan untuk terus menerus terjamin dalam meniti jalan kesetaraan.
Sejumlah fenomena pembalikan isu kekerasan seksual menjadi semata-mata persoalan moralitas adalah simplifikasi yang harus ditentang, karena hanya melahirkan impunitas bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan.
Kerangka teoritik untuk memperbarui produk hukum yang adil gender telah banyak dikemukakan oleh para ahli dan pegiat studi perempuan. Donny Danardono (Sulistiyowati, 2006) menawarkan dan menegaskan, hukum harus digunakan sebagai pengetahuan sekaligus sebagai medium bagi perempuan, dan siapapun pencari keadilan, untuk mendefinisikan diri mereka sendiri di antara eksistensi kemajemukan yang ada di masyarakat. Perempuan harus dilihat sebagai identitas yang berbeda, bahkan ‘yang lain’ dari identitas laki-laki. Hukum harus mendengarkan sepenuh hati identitas perempuan. Identitas ini tidak akan ada batas dan bersifat majemuk. Identitas setiap perempuan, sebagaimana juga laki-laki, tidaklah homogen..
Donny Danardono menyimpulkan, teori hukum yang berperspektif gender adalah teori hukum yang memungkinkan setiap perempuan dan setiap orang yang potensial menjadi korban, mampu membentuk identitasnya sendiri secara utuh, dengan berbagai pengalaman yang dimiliki. Dengan identitas diri ini, dia mampu bergerak untuk melakukan perlawanan balik terhadap berbagai upaya yang hendak menindasnya. Pengalaman setiap individu perempuan menjadi sangat menarik untuk dilihat dan dipertimbangkan dalam setiap upaya pencarian keadilan bagi setiap perempuan. (Sulistiyowati, 2006: 26).
Secara sistematis, Agnes Widanti membuat rumusan hukum yang berkeadilan gender, dengan menekankan pada metode: 1) menanyakan pada pengalaman-pengalaman perempuan, yang seringkali justru diam dan tidak tersuarakan: 2) memfokuskan pada hal-hal yang praktis dengan pendekatan deduktif-logis dan multikultural, untuk sampai pada; 3) memunculkan kesadaran pada aspek individu dan masyarakat, yang memperkuat posisi mereka untuk perimbangan dan penuntutan keadilan. Karena itu, hukum yang berkeadilan gender menurut Agnes adalah hukum (baik hukum negara maupun hukum masyarakat atau norma masyarakat) yang memungkinkan keseimbangan dinamis antara laki-laki dan perempuan dalam struktur-struktur kekuasaan pada masyarakat dan negara. Struktur-struktur tersebut terdapat dalam bidang sosial, ekonomi, politik, hukum dan idiologi. (Agnes Widanti, 2005).
Untuk menuju hukum [termasuk hukum Islam] yang berkeadilan gender diperlukan transformasi nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat, atau perubahan paradigma. Termasuk dan yang utama adalah mengubah cara pandang terhadap substansi agama dan pemikiran-pemikiran praktis dalam ajaran-ajaran agama. Hanya dengan menjawab tiga tantangan di atas, kesetaraan gender dalam konteks hukum Islam akan menemukan titik pijaknya.

Peneliti pada Komnas Perempuan & SETARA Institute

No comments:

Adbox