Berkembangnya diskursus hak asasi manusia,
khususnya hak asasi perempuan, dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran akan
fakta-fakta kekerasan dan diskrimi-nasi yang dialami perempuan. Kekerasan dan
diskriminasi terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk kejahatan yang
cukup tua. Kejahatan jenis ini, sebelumnya merupakan kejahatan yang tidak
pernah diakui sebagai sebuah kejahatan dan tidak pernah diadili. Berbeda dengan catatan sejarah kejahatan
yang menimpa umat manusia pada umumnya, kejahatan terhadap perempuan menjadi
semakin sulit tertangani oleh karena dominasi pandangan/ perspektif patriarkat
yang melekat dan membatu pada pikiran manusia. Berangkat dari perspektif
patriarkat inilah budaya patriarkat terbentuk dan menyatu dalam kebudayaan umat
manusia. Dari sini, ketidakadilan gender menimpa perempuan.
Terminologi kesetaraan gender dibangun di
atas dasar kesadaran pengakuan akan adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan
gender. Karena ketidaksetaraan itu maka segenap ikhtiar untuk membangun
kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan muncul. Pengakuan adanya
ketidakadilan gender adalah modal awal bagi upaya membangun kesataraan gender.
Tanpa pengakuan, ketidakadilan gender akan tetap menjadi titik awal terjadinya
berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Perempuan, secara biologis memiliki
perbedaan dengan laki-laki. Perbedaan biologis itu bukanlah menjadi pembenar
bagi pemeranan perempuan secara tidak adil, tapi justru menuntut setiap orang,
institusi sosial, dan negara untuk memberikan perlindungan khusus kepada
perempuan. Fakta perbedaan bilogis ini yang kemudian menjadi argumen perlunya
perlindungan khusus bagi perempuan. Namun demikian, yang terjadi di sekitar
kita, perbedaan biologis ini justru menjadi justifikasi praktik ketidakadilan
gender: subordinasi, marginalisasi, beban ganda (double burden), kekerasan, dan
stereotipe.
Selain perbedaan yang bilogis [sex,
kodrati], akibat ketidakadilan gender, perempuan juga mengalami pembedaan
(diskriminasi). Diskriminasi inilah yang kemudian menginspirasi gerakan-gerakan
perempuan untuk mewujudkan keadilan gender, menghapus diskriminasi, dan
kekerasan. Setelah Deklarasi Universal HAM, Kovenan Sipil Politik, dan Kovenan
Ekonomi Sosial Budaya, salah satu tonggak perjuangan menuju kesetaraan
gender adalah lahirnya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi
terhadap Perempuan (CEDAW) di tahun 1979 yang telah diratifikasi pemerintah
Indonesia dengan UU No. 7/1984. Karena ketidakadilan gender yang menimpa
perempuan, konvensi ini juga menegaskan bahwa untuk menghapuskan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan, diperlukan tindakan khusus sementara
(affirmative action) untuk mencapai kesetaraan gender, sehingga perempuan dan
laki-laki memiliki akses dan kesempatan yang sama untuk menikmati hak-hak asasinya.
Selain CEDAW, saat ini sejumlah deklarasi yang berhubungan dengan perjuangan
mewujudkan kesetaraan gender juga telah tersedia.
Sejalan dengan perjuangan penghapusan
kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, perubahan Undang-Undang Dasar
1945 yang terjadi pada 2000-2004 telah mengubah secara mendasar prinsip-prinsip
distribusi kekuasaan, praktik penyelenggaraan negara, dan penegasan
komprehensif jaminan hak-hak konstitusional warga negara. Secara normatif,
amandemen UUD 1945 telah memberikan jaminan pemenuhan hak asasi manusia,
termasuk hak asasi perempuan. Hak-hak konstitusional warga telah sepenuhnya
mendapat jaminan dan perlu direalisasikan melalui peraturan-perundang-undangan,
baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Jaminan konstitusional
tersebut menuntut segenap elemen negara, lembaga-lembaga negara, dan masyarakat
sipil untuk memberikan perhatian yang kontinyu terhadap pemenuhan hak-hak
konstitusional tersebut terutama bagi warga negara yang rentan diskriminasi.
Bias Gender dalam Tafsir Agama
Meskipun telah terjadi berbagai kemajuan
menyangkut hak-hak perempuan, akan tetapi sejauh yang dapat dilihat dalam
tradisi pemikiran Islam dan perundang-undangan yang berlaku di banyak negara
muslim, termasuk Indonesia, perempuan masih menghadapi berbagai kendala serius
untuk menikmati hak-hak asasinya. Perempuan masih mengalami problem
diskriminasi gender. Problem diskriminasi berdasarkan gender muncul baik dalam
pandangan dominan kaum muslimin maupun dalam hukum-hukum keluarga dan perdata Islam.
Pertama, perempuan diposisikan sebagai makhluk subordinat dengan tugas-tugas
domestik. Al Qur’an secara eksplisit menyebutkan posisi perempuan ini : “Kaum
laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagai yang lain (perempuan), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk
perempuan”.(Q.S. al Nisa, 4:34). Superioritas laki-laki atas perempuan ini juga
dinyatakan pada ayat yang lain: “Kaum perempuan mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya. Akan tetapi kaum laki-laki (suami) mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada kaum perempuan (isterinya)”.(Q.S. al Baqqarah,
2:228).
Mengacu pada teks-teks keagamaan di atas,
para ahli hukum Islam berpendapat bahwa laki-lakilah yang menjadi kepala
keluarga. Undang-undang perkawinan Indonesia, No. 1/1974 misalnya dengan tegas
menyatakan : “laki-laki adalah kepala rumah tangga dan perempuan adalah ibu
rumah tangga”.(ps. 31). Walaupun dalam realitasnya telah banyak perempuan yang
menjadi kepala keluarga, tetapi berdasarkan norma-norma hukum yang berlaku
tersebut tetap tidak diakui.
Kedua, meskipun konteks ayat 34 surah al Nisa
tersebut berkaitan dengan urusan domestik, tetapi sejumlah pandangan ahli
tafsir ayat ini juga dirujuk melalui argumen analogis utama (qiyas
awlawi) untuk menjustifikasi seluruh peran-peran perempuan di dalam wilayah
publik-politik. Pemikiran ini juga dikuatkan oleh sumber otoritatif lain yaitu
hadits sahih (valid) yang secara eksplisit menegaskan ketidakberuntungan bangsa
yang dipimpin presiden perempuan : “lan yufliha qawmun wallau amrahum
imra-atan” (negara tidak akan maju apabila
menyerahkan urusannya kepada perempuan). Argumen paling banyak dikemukakan
adalah karena kapasitas intelektual dan fisik perempuan lemah. Argumen lain
adalah bahwa kehadirannya di hadapan dan bersama laki-laki dapat menimbulkan
“fitnah” atau berpotensi menggoda. Argumen keagamaan yang sama digunakan
mayoritas besar ulama untuk menolak peran perempuan dalam wilayah legislatif
dan yudikatif.
Ketiga, hak cerai ada di tangan laki-laki (suami).
Dalam khazanah hukum Islam suami dibenarkan menceraikan isterinya kapan saja
dia mau. Sementara perempuan (isteri) hanya bisa bercerai dari suaminya melalui
pengajuan gugatan atau yang biasa disebut “khulu'” (gugat cerai). Hal ini juga
didasarkan atas teks-teks al Qur’an. Antara lain : “Perceraian (yang boleh
rujuk) itu adalah dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang patut,
atau menceraikannya dengan cara yang patut pula”.(Q.S. al Baqarah, 2:229).
Teks-teks al Qur’an yang berhubungan dengan perceraian semuanya ditujukan
kepada laki-laki. Norma hukum yang diskriminatif seperti ini juga memiliki
implikasi yang bisa sangat merugikan bagi kaum perempuan.
Keempat, poligami dibenarkan berdasarkan ayat-ayat
al Qur’an surah al Nisa, 4:3, dan prakik Nabi. Undang-undang Keluarga di
negara-negara Islam, kecuali Turki dan Tunisia, mengikuti ketentuan eksplisit
sumber-sumber Islam tersebut. Walaupun demikian telah banyak negara Islam yang
melakukan perubahan penting atas ketentuan Poligami tersebut. UU Perkawinan
1/1974, misalnya, membolehkan poligami dengan sejumlah syarat yang ketat.
Demikian juga dalam Kompilasi Hukum Islam yang menjadi pegangan para hakim.
Kelima, hukum waris. Bagian waris untuk perempuan adalah separoh dari laki-laki.
Ketentuan pembagian harta waris yang dianggap diskriminatif ini merujuk
pada ayat-ayat suci al Qur’an. Ayat al Qur’an tersebut berbunyi : “Aku wasiat
(pesan) kepadamu tentang anak-anakmu. Bagi laki-laki sebanding dua kali bagian
perempuan”. (Q.S. Al Nisa, 4:11).
Berdasarkan pembacaan literal atas
teks-teks keagamaan tentang waris tersebut, para ulama memandang bahwa
pembagian waris 2 : 1 untuk anak laki-laki dan anak perempuan merupakan
konsensus (ijma’) ulama Islam. Mereka selanjutnya menyatakan bahwa pola
pembagian waris laki-laki dua kali perempuan adalah sebuah prinsip umum yang
harus diterapkan dalam memutuskan pembagian waris laki-laki dan perempuan.
Undang-Undang Perkawinan Indonesia juga masih mengadopsi ketentuan teks-teks
Islam tersebut secara literal.
Masih banyak hak-hak perempuan dalam hukum
Islam yang juga mengandung aspek diskriminatif. Dapat dikatakan bahwa hampir
semua pasal dalam UU Perkawinan No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
dijadikan acuan praktis bagi pengadilan Agama, mengandung pasal-pasal yang
diskriminatif berdasarkan gender. Dalam beberapa peraturan daerah yang sering
disebut bernuansa syariah, secara jelas ditemukan juga aturan-aturan yang
diskriminatif, baik yang melakukan kriminalisasi terhadap perempuan maupun yang
mengontrol tubuh perempuan.
Pandangan keagamaan “mainstream”
sebagaimana dipaparkan di atas, adalah problem dasar membincang isu kesetaraan
gender dalam konteks hukum Islam. Meskipun pandangan-pandangan keagamaan itu
merupakan fiqh (pemahaman para ulama atas sebuah teks) tapi dalam praktiknya
fiqh telah menjadi sumber bagi pembentukan hukum Islam (fiqh atau syariah yang
dipositivisasi ke dalam hukum negara). Baik fiqh maupun hukum Islam, keduanya
adalah produk pemikiran manusia yang sangat mungkin mengalami pembiasan,
sehingga muatannya kontradiktif dan bahkan kemudian menjadi diskriminatif.
Tantangan Berlapis
Membincang kesetaraan gender dalam konteks
hukum Islam, mengacu pada pemaparan di atas menunjukkan tantangan berlapis:
baik tantangan budaya seperti perspektif yang mengukuhkan ketidakadilan gender
maupun justifikasi tafsir agama dalam ajaran Islam. Demikian juga sejumlah
fakta hukum positif Indonesia yang masih banyak mengidap ketidakadilan gender.
Di bidang hukum, selain di bidang hukum
keluarga, ketidakadilan gender juga tampak jelas dalam hukum pidana Indonesia.
Sebagai contoh, KUHP masih mendefinisikan perkosaan secara sempit dan dalam
konteks persetubuhan sebagai semata-mata tindakan penetrasi alat kelamin
laki-laki ke alat kelamin perempuan. Aturan yang tidak memadai ini pun masih
menuntut pembuktian yang secara teknis sulit dipenuhi dan mempersulit perempuan
korban perkosaan memperoleh keadilan. Dalam kerangka otonomi daerah, Aceh yang
sebelumnya mengadopsi bentuk kriminal baru berupa khalwath (mesum), saat ini
juga sedang menyiapkan rancangan qanun tentang jinayat (hukum materil pidana
Islam) yang mencakup pengaturan tentang perkosaan, zina dan ikhtilath yang juga
menjadikan hukuman cambuk sebagai bentuk penghukuman bagi pelaku.
Sementara sejumlah hukum keluarga dan
hukum pidana baru sebagaimana di Aceh, yang secara diskriminatif menempatkan
perempuan sebagai pemicu kriminal, sejumlah daerah telah mengadopsi
peraturan-peraturan daerah tentang larangan pelacuran. Perda-perda jenis ini
dibangun di atas pemahaman yang keliru tentang pelacuran. Para perancang
peraturan telah secara diskriminatif mengkriminalisasi perempuan, karena itu
harus dijerat. Sementara itu, di tingkat nasional RUU Pornografi telah secara
kontroversial disahkan menjadi UU dan akan segera berlaku. UU Pornografi,
sepanjang pengamatan penulis, telah menginspirasi pemda-pemda untuk melakukan
pengaturan serupa perihal pornografi. Pemkot Banjarmasin telah secara terbuka
menyatakan kesiapannya membentuk perda sejenis UU Pornografi ini.
Lapisan tantangan dalam hal perspektif
yang tidak adil gender, tafsir ajaran yang bias, dan hukum positif yang tidak
berpihak pada perempuan saat ini jelas menghadang aktualisasi gagasan keadilan
gender sebagaimana tertuang dalam CEDAW. Meskipun sejumlah UU, seperti UU
PKDRT, UU PTTPO, dan sejumlah Perda perlindungan buruh migran (perempuan) telah
diterbitkan, kuatnya dominasi perspektif patriarkat, justifikasi tafsir agama
yang bias, dan preseden-preseden hukum yang tidak adil gender menjadikan
gerakan kesetaraan gender terus menghadapi tantangan berlapis.
Jalan Menuju Kesetaraan
Tiga lapis tantangan yang dihadapi oleh
gerakan menuju kesetaraan gender sebagaimana dipaparkan di atas, menuntut
penyikapan sistematis dengan menjawab tantangan-tantangan itu dengan cara:
[1] mengubah perspektif: perspektif yang tidak adil gender adalah titik
awal sebuah tindakan yang tidak adil gender. Untuk mengubahnya, diperlukan
gerakan sosial yang sistematis dan berkesinambungan. Faqihudin Abdul Qadir
(2008) menegaskan, gerakan keadilan gender adalah segala upaya, sekecil apapun
yang memberikan perhatian terhadap problem yang dihadapi perempuan, akibat
ketimpangan relasi sosial yang terjadi, dengan tujuan menghadirkan sistem
relasi yang adil bagi perempuan dan laki-laki. Gerakan keadilan gender adalah
gerakan transformasi untuk keadilan sosial. Bukan hanya untuk keadilan
perempuan, tetapi untuk semua komponen masyarakat. Tatanan sosial sudah harus
memastikan agar tidak ada lagi anggota masyarakat, terutama yang lemah,
minoritas dan perempuan, yang dihalangi untuk memperoleh keadilan dan
kesejahteraan.
Sebagaimana juga ditegaskan KH Husein
Muhammad (2007), kita perlu membangun kembali makna keadilan berdasarkan
konteks sosial baru dan dengan paradigma keadilan substantif dan nyata.
Pemaknaan keadilan bagi perempan dalam konteks ini, harus didasarkan pada pengalaman-pengalaman
perempuan sebagai korban ketimpangan relasi gender. Karena pemenuhan keadilan
secara mendasar harus dengan menunjukkan pemihakannya kepada korban.
[2] menafsir ajaran agama secara adil: tafsir ajaran agama yang bias gender harus diubah dengan tafsir yang adil
gender. Harus diakui, sebagaimana dipaparkan pada bagian sebelumnya, praktik
ketidakadilan gender juga telah diperkokoh oleh pandangan-pandangan keagamaan
yang tidak berpihak pada perempuan. Dalam khazanah klasik Islam, sesungguhnya
terdapat sejumlah konsep-konsep dasar yang bisa menjadi basis tafsir baru
ajaran Islam: kebebasan (al Hurriyyah), dan kesetaraan (al Musawah). Dari dua
prinsip dasar ini kemudian lahir sejumlah prinsip hak asasi manusia yang lain,
misalnya hak atas kehormatan pribadi, hak atas perlindungan, prinsip
partisipasi dan lain-lain. Demikian juga sejumlah ayat-ayat al Quran yang
menjelaskan tentang eksistensi manusia, kebebasan, kesetaraan, dan penghormatan
terhadap manusia: Q.S. al Isra, 70, Q.S. al Baqarah, 2:30-31, Q.S. al Ahzab,
33:72, Q.S. al Nisa, 1, Q.S. al Hujurat, 13, Q.S. al Nahl, 16:97) dll.
Mengutip KH. Husein Muhammad (2008),
doktrin kesetaraan (al musawah) di atas juga pernah dinyatakan oleh Nabi
Muhammad SAW. Dalam suatu kesempatan beliau mengatakan : “Manusia bagaikan
gigi-gigi sisir, tidak ada keunggulan orang Arab atas non Arab, orang kulit
putih atas kulit hitam, kecuali atas dasar ketakwaan kepada Tuhan”. Sabda
beliau yang lain : “Sungguh, Allah tidak menilai kamu pada tubuh dan wajahmu
melainkan pada tindakan dan hatimu”. Dan “Kaum perempuan adalah saudara
kandung kaum laki-laki”. Prinsip kesetaraan manusia ini pada hakikatnya
merupakan konsekuensi paling rasional atas doktrin Kemahaesaan Allah, atau
dalam bahasa yang lebih populer: Tauhid. Menurut doktrin ini, semua manusia,
tanpa melihat asal-usulnya pada ujungnya berasal dari sumber yang tunggal
ciptaan Tuhan. Oleh karena itu tidak satupun ciptaan Tuhan yang memiliki
keunggulan atas yang lainnya. Keunggulan manusia satu atas manusia yang lain
hanyalah pada aspek kedekatan dan ketaatannya kepada hukum-hukum Tuhan.
Sejumlah prinsip dasar dalam teks-teks
keagamaan, khususnya al Quran dan al Hadis, selanjutnya menjadi dasar bagi Nabi
Muhammad SAW untuk mendeklarasikan apa yang kemudian dikenal dengan “Shahifah
Madinah atau, “Mitsaq al Madinah” atau Piagam Madinah, pada tahun 622 M. yang
isinya meliputi kesepakatan-kesepakatan tentang aturan-aturan yang berlaku
dalam masyarakat Madinah yang plural dalam banyak aspek, terutama aspek
keyakinan dan agama.
Tokoh besar Islam, Imam al Ghazali, (w.
1111 M) juga telah mengembangkan prinsip-prinsip kemanusiaan Islam tersebut dan
merumuskannya menjadi lima prinsip, atau yang biasa dikenal dengan istilah “al
Ushul al Khamsah”. Yaitu Hifzh al Din (perlindungan terhadap agama), Hifzh al
Nafs (perlindungan terhadap hak hidup), Hifz al ‘Aql (perlindungan terhadap
akal-intelektual), Hifzh al Nasl (perlindungan terhadap keturunan dan
kerhormatan), dan Hifzh al Mal (perlindungan terhadap hak milik). Imam al
Ghazali menegaskan bahwa lima hal ini adalah tujuan-tujuan agama (Maqashid al
Syari’ah).
Dalam konteks modern, prinsip-prinsip
kemanusiaan di atas kemudian diturunkan dalam rumusan Deklarasi Hak Asasi
Islam yang dikeluarkan di Kairo pada tahun 1990. Deklarasi yang kemudian
populer disebut Deklarasi Kairo ini merupakan dokumen hak asasi manusia di
tingkat regional yang secara khusus ditujukan untuk negara-negara anggota
Organisasi Konferensi Islam atau OKI. Dengan statusnya yang demikian deklarasi
ini bukan merupakan pengganti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia melainkan
dapat melengkapinya.
Menafsir ajaran-ajaran keagamaan secara
adil harus dimulai dengan mengkritisi pandangan-pandangan fiqh yang relatif dan
sangat sosiologis [bahkan politis] menggunakan landasan prinsip-prinsip dasar
universal Islam sebagaimana dipaparkan di atas. Dengan menggunakan landasan
prinsip-prinsip di atas, diskursus kesetaraan gender dalam konteks hukum Islam
justru akan sangat saling menguatkan, karena pada dasarnya ajaran keagamaan (Islam)
adalah adil dan setara dalam memandang laki-laki dan perempuan. Sebaliknya,
tanpa pembaruan tafsir yang adil, hukum Islam/ produk hukum yang dilandasi
tafsir ajaran Islam justru hanya akan melahirkan kontradiksi yang sangat
mungkin saling menegasikan. Kontestasi pendapat publik dalam memandang
munculnya peraturan perundang-undangan baik di tingkat lokal maupun di nasional
menunjukkan peta kontradiktif itu.
[3] memperbarui produk hukum: jaminan konstitusional hak-hak perempuan yang termuat dalam UUD 1945
sesungguhnya menuntut penyikapan elemen negara untuk menerjemahkannya ke dalam
produk-produk hukum dan kebijakan. Prinsip “kewajiban negara” yang diamanatkan
oleh CEDAW cukup menjadi landasan bagi elemen negara memastikan jalan lapang
menuju kesetaraan gender. Sejumlah produk hukum seperti UU PKDRT, UU PTTPO,
jaminan quota 30% bagi perempuan dalam pencalegan, belumlah cukup menjadi
landasan operasional yang mampu menerjemahkan jaminan konstitusional hak-hak
perempuan dalam konstitusi.
Di samping tantangan memperbarui KUHP
untuk memastikan justisiabilitas bagi korban perkosaan, perempuan Indonesia
saat ini juga masih membutuhkan sejumlah perlindungan khusus. Pelecehan
seksual, kekerasan seksual, perempuan pembantu rumah tangga, perempuan pekerja
migran, dan sejumlah isu kesetaraan lain di berbagai bidang: tenaga kerja,
jaminan akses keadilan, hak atas pemberdayaan dan lain sebagainya adalah
kebutuhan perempuan untuk terus menerus terjamin dalam meniti jalan kesetaraan.
Sejumlah fenomena pembalikan isu kekerasan
seksual menjadi semata-mata persoalan moralitas adalah simplifikasi yang harus
ditentang, karena hanya melahirkan impunitas bagi pelaku kekerasan terhadap
perempuan.
Kerangka teoritik untuk memperbarui produk
hukum yang adil gender telah banyak dikemukakan oleh para ahli dan pegiat studi
perempuan. Donny Danardono (Sulistiyowati, 2006) menawarkan dan menegaskan,
hukum harus digunakan sebagai pengetahuan sekaligus sebagai medium bagi
perempuan, dan siapapun pencari keadilan, untuk mendefinisikan diri mereka
sendiri di antara eksistensi kemajemukan yang ada di masyarakat. Perempuan
harus dilihat sebagai identitas yang berbeda, bahkan ‘yang lain’ dari identitas
laki-laki. Hukum harus mendengarkan sepenuh hati identitas perempuan. Identitas
ini tidak akan ada batas dan bersifat majemuk. Identitas setiap perempuan,
sebagaimana juga laki-laki, tidaklah homogen..
Donny Danardono menyimpulkan, teori hukum
yang berperspektif gender adalah teori hukum yang memungkinkan setiap perempuan
dan setiap orang yang potensial menjadi korban, mampu membentuk identitasnya
sendiri secara utuh, dengan berbagai pengalaman yang dimiliki. Dengan identitas
diri ini, dia mampu bergerak untuk melakukan perlawanan balik terhadap berbagai
upaya yang hendak menindasnya. Pengalaman setiap individu perempuan menjadi
sangat menarik untuk dilihat dan dipertimbangkan dalam setiap upaya pencarian
keadilan bagi setiap perempuan. (Sulistiyowati, 2006: 26).
Secara sistematis, Agnes Widanti membuat
rumusan hukum yang berkeadilan gender, dengan menekankan pada metode: 1)
menanyakan pada pengalaman-pengalaman perempuan, yang seringkali justru diam
dan tidak tersuarakan: 2) memfokuskan pada hal-hal yang praktis dengan
pendekatan deduktif-logis dan multikultural, untuk sampai pada; 3) memunculkan
kesadaran pada aspek individu dan masyarakat, yang memperkuat posisi mereka
untuk perimbangan dan penuntutan keadilan. Karena itu, hukum yang berkeadilan
gender menurut Agnes adalah hukum (baik hukum negara maupun hukum masyarakat atau norma
masyarakat) yang memungkinkan keseimbangan dinamis antara laki-laki dan
perempuan dalam struktur-struktur kekuasaan pada masyarakat dan negara.
Struktur-struktur tersebut terdapat dalam bidang sosial, ekonomi, politik,
hukum dan idiologi. (Agnes Widanti, 2005).
Untuk menuju hukum [termasuk hukum Islam]
yang berkeadilan gender diperlukan transformasi nilai-nilai budaya yang
berkembang di masyarakat, atau perubahan paradigma. Termasuk dan yang utama
adalah mengubah cara pandang terhadap substansi agama dan pemikiran-pemikiran praktis
dalam ajaran-ajaran agama. Hanya dengan menjawab tiga tantangan di atas,
kesetaraan gender dalam konteks hukum Islam akan menemukan titik pijaknya.
Peneliti pada Komnas Perempuan
& SETARA Institute
No comments:
Post a Comment